Mengapa Guru (Tidak) Menulis?

Editor: Admin author photo

Ira Mutiaraningrum

Teacher Professional Development atau Pengembangan Profesi Guru menjadi wacana hangat dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih sejak disahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru mendapat pengakuan formal akan keprofesiannya. 


Perundangan ini jelas memberikan angin segar untuk masa depan sosial maupun ekonomi guru, namun tuntutan untuk peningkatan kualifikasi profesi menjadi PR berat yang tidak bisa dianggap remeh. Tidak hanya memiliki kualifikasi akademik, guru harus memiliki kompetensi. 


Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Kualifikasi Kompetensi sebagai syarat menjadi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompeensi sosial, dan kompetensi profesional. Berbeda dari kompetensi kepribadian dan sosial yang lebih personal, kompetensi pedagogik yang terkait dengan pengelolaan pembelajaran dan kompetensi profesional yang terkait dengan penguasaan materi lebih mudah diukur dengan angka kredit. 


Namun, selain angka kredit jam mengajar, ada kualifikasi yang sangat penting bagi guru, yaitu kemampuan guru menulis karya Ilmiah. Idealnya guru dan menulis adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.


Guru harus terus meningkatkan dan memperbaharui ilmunya. Dengan menulis, guru akan membaca. Dengan membaca, ilmunya akan update dan menjadi masukan untuk memperbaiki pembelajaran peserta didik. Namun, fakta dilapangan berkata lain. 


Sebuah survey pada 159 peserta PPG (Program Profesi Guru) di Universitas Tanjungpura Pontianak menunjukkan bahwa 44% guru pernah menulis laporan Penelitian Tindakan Kelas, 24% guru pernah menulis makalah, 25,2% guru pernah menulis artikel jurnal, 9,4% guru pernah menulis buku, dan 37,7% guru belum pernah menulis. Angka ini tentu menghawatirkan mengingat 1/3 dari jumlah guru yang berpartisipasi di survey ternyata tidak pernah menulis. 


Windi Sucitawati, S.Pd merupakan guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Sungai Ambawang yang telah menyelesaikan PPG. Ia mengakui pentingnya menulis bagi karir guru karna memiliki angka kredit yang besar, terutama menulis buku dan artikel ilmiah. Namun, menurutnya, menulis bukanlah hal mudah bagi guru.


“Yang membuat guru jarang menulis adalah kerjaan yang sudah banyak, bukan hanya mengajar tapi juga administrasi. Apalagi di Sekolah daerah terpencil dengan jumlah guru yang sedikit, banyak guru yang rangkap jabatan, misalnya jadi bendahara atau tata usaha”. 


Terlihat bahwa guru-guru terjebak dengan rutinitas hingga mengesampingkan aktivitas menulis yang memerlukan komitmen, waktu, dan pikiran. 


Guru tidak termotivasi dalam menulis. Hal ini diketahui dari hasil survey yang menunjukkan bahwa guru kurang termotivasi dalam menulis (46,5%).


Umumnya karna kurang yakin dengan kemampuan dalam menulis karya ilmiah dan reward yang rendah atas hasil karya mereka. 


Hal ini mendapat perhatian dari Urai Salam, M.CALL, Ph.D, sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Tanjungpura dan instruktur PPG. 


Menurutnya “Menulis itu pekerjaan berat, sedangkan reward yang didapatkan guru tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukannya. Ditambah lagi, tidak adanya dorongan dari kepala sekolah maupun Dinas Pendidikan. Karenanya, angka survey tersebut tidak mengejutkan”. 


Diketahui, guru hanya menulis untuk kebutuhan kenaikan pangkat, berbeda dari dosen yang mendapat insentif atas publikasi karya ilmiah. Karenanya, pemerintah harus memperhatikan reward bagi guru yang berhasil menulis dan mempublikasikan karyanya.


Dengan ketersediaan media digital yang memudahkan guru dalam mencari refensi, idealnya, guru terfasilitasi untuk meningkatkan profesionalitas menulisnya. Dahulu, alasan yang paling umum diungkapkan guru merupakan terbatasnya sumber bacaan yang membuat mereka kesulitan menulis. Kini, bahkan dengan tersedianya sumber bacaan online, guru masih belum menunjukkan eksistensinya dalam menulis. 


Jangankan untuk ikut kompetisi menulis yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan maupun berbagai institusi lainnya, menulis untuk naik pangkat saja sulit dilakukan. 


Maka, pemerintah harus memutar akal untuk mendorong motivasi guru. Agaknya motivasi eksternal harus bermain peran dalam hal ini. 


Hal ini senada dengan hasil penelitian Budiana, Djuwari, dan Hudiwinarsih (2019) bahwa motivasi eksternal berperan penting dalam menggerakkan guru untuk menulis. Motivasi dari lembaga pemerintah berperan dalam dalam meningkatkan produktivitas guru dalam menulis karya ilmiah.


Karenanya, guru harus dimotivasi dengan pemberian reward agar mau menulis. Tidak hanya pemberian insentif, namun dukungan dari sekolah maupun Dinas Pendidikan sangat diharapkan untuk menciptakan kebijakan untuk pelatihan serta pendampingan guru agar mampu menulis karya ilmiah, baik itu berupa artikel penelitian, laporan, maupun buku ajar. Meningkatkan kualitas guru, salah satunya kemampuan menulis karya ilmiah, merupakan asset penting pemerintah dalam membangun bangsa. 


Guru yang menulis akan mengembangkan perilaku konstruktif dalam mengevaluasi proses pembelajaran untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas.


Referensi:

Budiana, K. M., Djuwari, D., & Hudiwinarshi, G. (2019). The teachers` motivation in joining the training on scientific paper writing. SMCC Higher Education Research Journal, 6, 49-66. DOI: http://dx.doi.org/10.18868/sherj6j.06.010119.03


Ira Mutiaraningrum

Dosen Politeknik Negeri Sambas dan Mahasiswa S3 Universitas Negeri Semarang

Share:
Komentar

Berita Terkini